Berasal dari sebuah keluarga yang sama sekali jauh dari lingkungan akademik, justru tidak menyurutkan langkah Mochamad Asrofi menjadi seorang akademisi, sekaligus peneliti. H. Abdul Munip, ayahnya, seorang petani. Sementara Hj. Asiyah, ibunya, seorang pedagang. Darah akademisi tidak turun dari kedua orang tuanya. Bahkan, kala itu, Asrofi kecil sama sekali tidak memiliki cita-cita untuk melanjutkan studi ke jenjang tinggi. ‘Bagaimana caranya segera ‘bekerja’ agar bisa membantu orang tua’adalah harapan yang dimiliki Asrofi dan senantiasa menjadi penuntunnya selama mengenyam bangku sekolahan.
Namun, ketika memasuki masa SMA, cara pandang Asrofi terhadap pendidikan dan masa depan mengalami perubahan yang signifikan. Terlebih ketika ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya di kelas, kerap dikesampingkan (merasa terpuruk) lantaran tidak memiliki prestasi apa pun. Kondisi ini menjadi titik balik Asrofi untuk mengejar sebuah prestasi. Impak dari titik balik ini adalah ketika Asrofi melanjutkan ke jenjang Pendidikan Tinggi.
Di Universitas Jember, tepatnya di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Mesin, Asrofi berhasil dinobatkan sebagai lulusan terbaik dengan masa kuliah tercepat sepanjang sejarah di kampusnya, yakni 3 tahun, 3 bulan. Akan tetapi kehebatan Asrofi selama menempuh studi S-1 tidak berbanding lurus dengan kariernya pasca-kuliah. Harapan melanjutkan studi ke luar negeri terpaksa harus ditunda lantaran dirinya belum cukup pantas melanjutkan studi dengan skema pembiayaan melalui beasiswa. Asrofi tidak menyerah. Sembari menyiapkan diri mengikuti rangkaian testselanjutnya, ia memilih mengisi waktunya dengan bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur keramik, di salah satu kota di Jawa Timur. Pagi sampai sore bekerja. Malam sampai larut sekali, ia gunakan untuk belajar. Hingga pada Juni 2015, setelah persyaratan dirinya melamar beasiswa dirasa sudah sangat cukup, ia kemudian memberanikan diri melamar beasiswa PMDSU Batch2 ke Universitas Andalas.
Setelah melewati serangkaian proses seleksi program Pendidikan Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang sangat ketat, Asrofi akhirnya dinyatakan ‘diterima’ sebagai mahasiswa PMDSU di Teknik Mesin (S-2) dan Ilmu-Ilmu Pertanian (S-3), tepatnya program multidisiplin pascasarjana pada Pemusatan Teknologi Industri Pertanian, dengan Prof. Dr.-Ing. Hairul Abral sebagai promotornya.
Asrofi percaya bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah digariskan oleh Tuhan. Tugasnya adalah melaksanakan titah-Nya dengan sebaik-baiknya.
Seperti apa yang ia yakini tentang semua yang sudah digariskan Tuhan.Ia memahami bahwa kedatangan dirinya ke Kota Padang, bukan hanya sekadar ditugaskan untuk belajar, melainkan untuk menumbuhkan harapan di masa yang akan datang. Bersama Prof. Abral, Asrofi telah tumbuh menjadi ilmuwan muda Indonesia yang produktif. Di bawah bimbingannya, ia tidak hanya ditempa menjadi pemikir, tetapi juga dididik sebagai ilmuwan, dan akademisi yang berintegritas dan penuh dedikasi terhadap ilmu dan Pendidikan Tinggi.
Kunci sukses sebagai seorang peneliti adalah kejujuran. Percuma saja banyak meneliti dan publikasi, tetapi data yang dilaporkan tidak sesuai faktanya. Karena itu, menjadi seorang peneliti harus jujur dankonsisten. Sebab meneliti itu melaporkan fakta terbaru yang belum banyak diketahui orang.
Kalimat inilah yang selalu disampaikan Prof. Abral kepada seluruh mahasiswa bimbingannya. Kalimat ini pula yang menuntun Asrofi selalu penuh dedikasi saat meneliti.
Sebagai promotor yang telah banyak makan asam-garam dunia penelitian, Prof. Abral memahami menjadi mahasiswa PMDSU sangatlah sulit. Bagaimana tidak, jenjang studi S-2 dan S-3 yang mestinya ditempuh minimal 5 tahun, harus selesai dalam waktu maksimal 4 tahun. Belum lagi, selama mengikuti program PMDSU, mahasiswa dituntut mampu mempublikasikan minimal 2 jurnal internasional bereputasi. Karena tuntutan itulah ia selalu berpesan kepada seluruh mahasiswa bimbingannya, “jangan hanya karena alasan memenuhi persyaratan (publikasi), data yang disajikan kepada publik tidaklah valid. Itu benar-benar menyalahi kaidah dan etika dunia penelitian.”
Bersama dengan promotornya, saat ini, Asrofi, tengah mengembangkan penelitian tentang bionanokomposit, yaitu sebuah susunan material yang terdiri atas dua bahan/matriks dan penguat. Aplikasi yang dikembangkannya sangat potensial dan beragam. Bisa digunakan di bidang otomotif, peralatan dapur, hingga komponen pesawat terbang. Secara khusus penelitian yang Asrofi kerjakan saat ini adalah bionanokomposit untuk aplikasi kemasan makanan atau biasa disebut juga dengan bioplastik.
Ia mengembangkan material plastik kemasan makanan yang ramah lingkungan seratus persen dari bahan alam, yaitu pati bengkuang dan serat eceng gondok. Hal ini dikarenakan bengkuang bukan tanaman musiman dan memiliki kandungan amilosa sekitar 30%. Sementara eceng gondok memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi, sehingga seratnya bisa memperkuat struktur komposit. Pemilihan bengkuang dan eceng gondok sendiri sebagai material bioplastik lantaran bengkuang merupakan salah satu komoditas utama Sumatera Barat, sementara eceng gondok—tumbuhan yang termasuk dalam kategori tanaman gulma dan dianggap mengganggu daerah perairan maupun persawahan—juga banyak tumbuh di beberapa wilayah di Sumatera Barat.
Motivasi Asrofi mengembangkan penelitian bioplastik karena ia melihat tingkat kesadaran masyarakat Indonesia untuk tidak membuang plastik sintetis ke alam cukup merisaukan. Ini dibuktikan dengan data yang dilaporkan oleh Jambeck et al.2015[1], bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China dengan menyumbang sampah plastik di lautan sebesar 0,48 – 1,29 juta metrik ton per tahunnya. Karena itu, dirinya ingin membuat material plastik yang ramah lingkungan dengan bahan yang dikembangkan merupakan 100% dari bahan alam.
Hasil penelitian bionanokomposit yang Asrofi kembangkan saat ini sudah berhasil dalam skala laboratorium. Ke depan ia berharap penelitiannya dapat dikembangkan secara luas melalui skema kolaborasi dengan peneliti, baik di dalam maupun di luar negeri dan tentunya dengan industri plastik itu sendiri, ke skala industri yang cukup besar.
“Kita tidak mungkin menghilangkan plastik, karena fungsinya dalam aktivitas sehari-hari sangat tinggi. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat plastik yang ramah lingkungan. Jadi masyarakat masih bisa terus menggunakan plastik tanpa perlu merasa khawatir akan merusak lingkungan,” imbuhnya.
Selama mengikuti program PMDSU Asrofi telah berhasil menerbitkan 10 jurnal internasional bereputasi dan saat ini ia telah memiliki H-Indeks Scopus 4 dengan jumlah kutipan sebanyak 36. Jumlah ini merupakan capaian yang sangat baik, jika melihat usianya yang masih terbilang cukup muda, 25 tahun. Asrofi pun akan menjadi peserta PMDSU pertama yang diuji oleh penguji eksternal dari luar negeri pada sidang doktoralnya nanti, 13 Desember 2018. Penguji eksternal yang akan mengujinya adalah Prof. Dr. Ir. Mohd Salit Sapuan, FSAE. seorang peneliti yang sudah memiliki H-Indeks Scopus 44 yang berasal dari Universiti Putra Malaysia (UPM).
Apresiasi tinggi atas capaian yang telah Asrofi raih patut diberikan tidak hanya pada Asrofi sendiri, tetapi pada promotor yang telah membimbingnya sepanjang waktu.
“Tanpa promotor, saya tidak akan bisa menghasilkan apa-apa,” tegas Asrofi.
Prof. Abral mengakui bahwa dirinya tidak merasa kaget membimbing mahasiswa seperti Asrofi dengan latar belakang keluarga yang non-akademisi. Dirinya memiliki prinsip bahwa siapa pun bisa terlahir menjadi seorang peneliti. Latar belakang keluarga tidak begitu berpengaruh menjadikan siapa pun menjadi peneliti.
“Asalkan seseorang tersebut mau diarahkan dan mau bekerja ekstra, jalannya menjadi peneliti pasti akan mudah,” ujarnya.
Sebagai promotor, ia mengaku memiliki pola khusus yang diterapkannya kepada mahasiswa PMDSU bimbingannya. Prof. Abral bahkan meyakini bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat baik. Maka itu, pola yang ditemukannya bisa diterapkan pada siapa saja. Dengan polanya, ia bahkan bisa menghasilkan mahasiswa berkualitas seperti Asrofi. Padahal Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Mesin, tempat Asrofi meneliti, memiliki keterbatasan dalam hal fasilitas (laboratorium).
Prof. Abral punya solusi jitu untuk mengatasinya. Ia membeberkan bahwa tidak semua sampel penelitian Asrofi dikerjakan di Universitas Andalas. Banyak sampel penelitian yang dikerjakan Asrofi justru diolah di lembaga penelitian atau institusi seperti LIPI, BATAN dan UNP, dan kampus-kampus luar negeri yang memiliki MoU kerja sama dengan Universitas Andalas.
“Kolaborasi bisa dilakukan di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Semua publikasi yang dihasilkan Asrofi adalah contoh kolaborasi yang konkret. Asrofi mungkin tidak seperti mahasiswa PMDSU lainnya, yang pergi ke luar negeri untuk melakukan penelitian bersama. Ia tetap tinggal di Padang menempa diri agar terus produktif meneliti. Sampel penelitiannyalah yang pergi ke berbagai institusi baik dalam dan luar negeri. Sementara sampelnya sedang diteliti, di Padang ia mempersiapkan proses berikutnya dari penelitian yang sedang dikerjakannya. Hasilnya bagaimana? Karya-karya yang dihasilkan Asrofi banyak yang sudah diakui oleh dunia penelitian internasional. Ini mematahkan anggapan bahwa dalam meneliti harus ditunjang oleh fasilitas mumpuni. Itu tidak terjadi pada Asrofi,” tegasnya.
Melihat keberhasilan pola meneliti yang ia terapkan kepada Asrofi, Prof. Abral berharap di tahun berikutnya, ia bisa mendapatkan banyak mahasiswa PMDSU yang bisa dibimbing langsung olehnya. Karena pola pendidikannya sudah berhasil diterapkan, maka bagaimanapun beragamnya karakter dan latar belakang mahasiswa PMDSU yang akan diterimanya nanti, mahasiswa tersebut pasti akan berhasil ia jadikan sebagai peneliti produktif yang berintegritas tinggi seperti laiknya Asrofi.
“Semua orang bisa menjadi peneliti. Latar belakang bukan jaminan bagi mulusnya jalan menjadi peneliti. Hanya kerja keras dan dedikasi tinggi yang bisa memuluskan karier seseorang menjadi peneliti,” tutupnya. (Iqbal)
[1]Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A., … & Law, K. L. (2015). Plastic waste inputs from land into the ocean. Science, 347(6223), 768-771.